NYADRAN DESA GIYANTI



@Regrann from @pasartingnjanti - Gapura pintu masuk dan keluar di @pasartingnjanti , posisi tepat ditepi jalan raya. Jangan lupa kami launching tgl 4 November ya, hari Minggu pagi . Go follow @pasartingnjanti @pasartingnjanti . #pasartingnjanti #wonosobo #thesoulofjava #wonosobozone #wonosobohitz #pasar #traditionalmarket #pasartradisional #market #culture #mayomaringnjanti


NYADRAN DESA GIYANTI
Masyarakat Jawa merupakan lahan yang potensial untuk menggali informasi budaya dengan segala pikiran, pandangan dan kehidupannya.Magnis Suseno dalam Triwikromo (2006: 11) mengatakan bahwa kebudayaan Jawa mempunyai cirri khas, yaitu terletak dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang dating dari luar dan dalam banjir tersebut dapat mempertahankan keasliannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam mencerna masukan-masukan dari luar. Hal tersebut menjadikan kebudayaan Jawa kaya akan unsure-unsur budaya yang kemudian menyatu dan menjadi milik kebudayaan Jawa seperti sekarang ini, di mana berbagai macam persilangan budaya justru telah memberikan warna terhadap kedinamisan budaya Jawa.
Pandangan manusia Jawa terhadap dunia mengisyaratkan bahwa baik dunia yang secara fisik kelihatan maupun dunia yang tidak kelihatan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam kesatuan itu semua gejala mempunyai tempat serta berada dalam hubungan-hubungan yang saling melengkapi dan terintregasi satu sama lain, sehingga membentuk tata alam yang sangat teratur (Magnis Suseno,1986:84).
Eliade dalam Triwikromo (2006:13) menegaskan bahwa mitos-mitos religius telah menjadi model dalam bertindak dan merupakan salah satu cara manusia dalam menjalin hubungan dengan kenyataan-kenyataan fisik dan lingkungannya. Pandangan semacam ini akan memberikan ruang untuk menempatkan mitos yang hidup dan berkembang dalam alam pikiran suatu masyarakat sebagai salah satu “pintu masuk” dalam usaha mengetahui dan memahami budaya mereka.
Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dan tetap berfungsi dalam masyarakat yang semakin mengglobal adalah tradisis Nyadran Giyanti di Wonosobo. Upacara Nyadran Giyanti masih dipercaya dan difungsikan masyarakat pendukungnya sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang desa Giyanti yang percaya bahwa nenek moyang mereka juga berperan dengan kemakmuran serta ketentraman warga masyarakat Giyanti. Menurut penyelidikan De Jong dalam Herusatoto( 1987:74)
Orang-orang yang mempunyai padangan berbeda tentang Tuhan, dunia dan manusia, mungkin dalam praktik memperlihatkan sikap hidup yang sama. Suatu sikap tidak hanya berpatokan pada agama yang dianut oleh seseorang, melainkan juga dengan adapt dan latar belakang kebudayaanya, bahkan juga watak bangsanya.
Permasalahan yang muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah struktur bentuk upacara Nyadran Giyanti tersebut dan bagaimana kedudukan upacara Nyadran Giyanti bagi masyarakat sehingga masih tetap dilestarikan? Pembahasan ini akan menggunakan dengan teori-teori sosiologi yaitu teori fungsional struktural Tallcon Parson.
Adapun tujuan pembahasan ini untuk mengkaji lebih dalam kedudukan tradisi Upacara Nyadran yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat sekarang dalam konteks sosiologi. Sedangkan manfaat pembahasan ini bagi penulis untuk menganalisa keterkaitan tradisi Nyadran Giyanti dengan teori sosiologi yang ada, bagi masyarakat luas dapat berapresiasi terhadap tradisi Upacara Nyadran Giyanti, serta bagi pemerintah dan dinas terkait dapat menentukan kebijakan-kebijakan untuk tetap eksisnya tradisi upacara Nyadran Giyanti
TRADISI UPACARA NYADRAN GIYANTI
Tradisi upacara Nyadran Giyanti merupakan kegiatan rutinitas tahunan masyarakat desa Giyanti setiap 1 Suro di daerah Wonosobo. Menurut sesepuh desa upacara nyadran selalu dilakukan oleh masyarakat desa Giyanti sebagai bentuk rasa syukur atas keberkahan yang melimpah dan permohonan keselamatan. Sebelum acara inti Nyadran di Giyanti masyarakat membuka rumah mereka untuk acara beranjangsana atau silaturaahmi dengan tujuan mempererat hubungan secara individu maupun kemasyarakatan. Adapun prosesi Upacara Nyadran Giyanti terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yaitu:
a. Nyadran di Makam
Nyadran mempunyai makna mengunjungi makam leluhur yang dikeramatkan. Mengunjungi beberapa makam leluhur atau pendiri desa
Giyanti dengan membawa sesaji berupa tumpeng, telur, buah-buahan, beberapa jenis minuman seperti air teh, kopi, dawet, serta beraneka buah-buahan dan kembang setaman. Selain itu juga ada yang membawa tandu replika pendiri desa Giyanti yang terbuat dari kain.Tipologi orang Jawa adalah hidup damai, selaras, serasi dan seimbang sehingga dalam menjalani laku kehidupan, orang Jawa cenderung tidak mau mengganggu dan di ganggu.Meskipun orang Jawa percaya kepa Tuhan Yang Maha Esa tetapi mereka masih melakukan “tegur sapa” kepada hal-hal gaib ( Giri, 2010:16)
b. Tenongan
Tenongan adalah sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bamboo berbentuk bulat dan memiliki tutup bulat juga. Tenongan digunakan untuk wadah makanan atau jajan pasar berupa pala kependem misalnya; ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah serta umbi-umbian yang lain. Berbagai macam buah-buahan, nasi dan lauk lengkap, bubur, jagung, kerupuk, ketimun dan masih banyak jenis makanan yang lain. Tenongan dibawa oleh ibu-ibu dan remaja putri berarak-arakan menuju ke pendopo desa.
c. Prosesi Upacara di Pendopo Desa.
Prosesi di Pendopo desa diawali peletakan sesaji di bawah pohon beringin depan Pendopo desa.Pohon beringin diyakini menjadi tempat leluhur, danyang desa. Menurut Purwadi (2009:16) bahwa pohon beringin , kuburan tua, sumber air yang tersembunyi menjadi tempat keramat atau punden.
d. Rakanan.
Rakanan adalah pembagian makanan yang ada dalam tenongan. Warga bebas untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan warga desa Giyanti secara berebutan ( rayahan).
e. Festival Embek
Pada upacara Nyadran Giyanti selalu dimeriahkan oleh berbagai pertunjukkan seni diantaranya Festival Emblek yang diikuti dari beberapa desa. Peserta untuk tahun ini adalah 15 peserta.
Emblek atau kuda lumping menggambarkan para prajurit
berkuda, karena kesenian ini mengambil ceritera babad Kediri atau
kisah Raden Panji Asmorobangun. Dikisahkan, Raden Panji dari Kerajaan
Jenggala, bersambung asmara dengan Dewi Sekartaji (Dewi Candrakirana),
Putri Raja Kediri.Komposisi tari Emblek pada umumnya adalah terdiri dari 7 orang penari dengan rincian 1 pimpinan pasukan berkuda dan 6Prajurit.
Property yang digunakan diantaranya kuda yang terbuat dari kepang (emblek), senjata seperti pedang dan tombak kecil. Bentuk tari Emblek di Wonosobo sudah mengalami perkembangan terutama pada penggarapan estetika gerak dan busana yang digunakan lebih variatif.
f. Lenggeran
Kesenian Topeng Lengger sangat populer di kalangan masyarakat
Wonosobo, karena selain sebagai tontonan juga bermakna sebagai
tuntunan.
Pada acara Nyadran Giyanti tari Topeng Lengger dipertunjukkan pada malam hari sebelum ritual nyadran keesokan harinya oleh Sanggar Tari Sekar Budhaya Wonosobo. Beberapa wanita penari Lengger menari dengan penari pria yang memakai topeng. Menurut keterangan Dwi Pranyoto seorang seniman topeng yang dipakai penari mempunyai kekuatan mistik. Penari memakai topeng berbagai macam sesuai karakter tokoh yang diperankannya. Kemudian ada adegan dimana penari kesurupan ( trance ). Pertunjukkan tari Topeng Lengger merupakan gabungan dari tari Emblek, dan Lenggeran yang menyatu dalam suatu cerita. Pertunjukan berakhir pukul 01.00 wib.
Siang harinya tari Lengger dipertunjukaan di pendopo dengan format yang berbeda. Pertama dipertunjukkan Lengger asli yang ditarikan oleh laki-laki yang berperan sebagai perempuan karena menurut sejarah lengger berasal dari kata”leng” yang berarti anak laki-laki dan ”ger” berarti geger atau ramai yang pada awalnya tarian ini ditarikan seorang laki-laki dirias wanita sehingga membuat geger. Kemudian dilanjutkan penampilan tari Lengger garapan Dwi Pranyoto dengan penari wanita dan seorang pria yang pada waktu menari trance (kesurupan) dibantu 3 orang pawang atau dukun. Kemudian beratraksi makan bunga setaman dan semprong ( penutup lampu minyak dari kaca ). Pencipta menggabungkan tari Bondhan Rangu-rangu dalam sajian Lenggernya, penari lengger membawa boneka dan payung menari di atas pundak penari pria dengan berputar-putar.
Perkembangan tari Lengger diharapkan dapat tetap melestarikan keberadaan tari itu sendiri dan tetap diminati semua masyarakat.
g. Wayang Kulit
Wayang mempunyai fungsi sebagai tontonan dan tuntunan yang didalamnya terdapat keindahan bentuk dan keindahan isi. Wayang kulit dalam arti lahir sebagai tontonan, dapat menjadi wayang purwa dalam arti batin yang berisi tuntunan. Hal ini debedakan karena fungsi kelir sebagai latar depan atau latar belakang. Wayang kulit dalam artian lahir yaitu kulit yang diprada dengan warna-warni. Kelir merupakan tempat dalang dan menjadi latar belakang boneka kulit yang arna-warni itu dan menjadi tontonan . Wayang Purwo dalam artian batin merupakan tuntunan. Kelir menjadi latar depan yang transparan dan menjadikan wayang kulit menjadi bayang-bayang kehidupan. Dalang dan wayang ada dibalik kelir.(Parmono,2008:99)
Demikian pula wayang kulit yang dipergelarkan dalam rangkaian acara ritual Nyadran dapat menjadi tontonan menarik serta tuntunan bagi masyarakat penikmatnya.Pertunjukan wayang kulit pada acara Nyadran Giyanti dipentaskan malam penutupan dari serangkaian acara di depan rumah Kadus desa Giyanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar